***
Kota Pekanbaru yang dikenal juga dengan sebutan Kota Bertuah. Sudah hampir dua belas tahun aku di sini. Inilah negeri kelahiranku yang kedua. Asal kotaku di mana aku dilahirkan dan Kota Bertuah lebih banyak berperan bak sutradara mengarahkan para aktor untuk bisa memainkan akting yang baik. Atau seorang ibu yang mengajarkan anak-anaknya untuk hati-hati dalam meniti kehidupan. Kota ini punya misteri dan menyimpan cita rasa pengalaman dah kehidupan itu sendiri. Yang paling aku tahu kota ini adalah panas. Namun panasnya tidak membakar apa pun. Tidak menggosongkan kayu bakar. Hanya sebuah aroma dan image karena tuahnya dengan minyak bumi hadiah dari Tuhan dan lebih dulu dijamah oleh para musafir yang lewat karena para pribumi yang pudar rasa kepedulian atau karena terlalu hanyut dalam rasa bangga akan tuah yang meruah-meruah.
Aku tidak lupa akan janji hari Jumat ini dengan bapak Norman di Komplek Perumahan Nirwana. Sudah tiga hari berlalu dari hari pertemuan kami kali keduanya. Mungkin aku perlu survei di mana Komplek Nirwana. Minimal aku harus tahu arah jalan menuju ke sana. Tapi yang aku dengar bahwa komplek tersebut ditempati para kalangan elit. Setelah aku bertanya dengan beberapa orang teman info yang aku dapatkan bahwa komplek Nirwana terletak di jalan Soekarno-Hatta (Arengka) setelah lampu merah simpang jalan Arifin Ahmad. Tidak terlalu sulit karena dari jalan Arengka akan terlihat gapura Nirwana. Aku yakin itulah tempatnya.
Setelah shalat Jumat aku harus siap-siap. Tentunya aku harus makan siang dulu agar tidak keroncongan. Tentunya itu hal yang memalukan sebagai tamu. Aku memakai baju kemeja biru dengan celana panjang polo dongker. Sekilas seperti karyawan bank. Yang penting sopan, bersih dan rapi. Bukankah membuat mata orang lain senang adalah ibadah. Aku tidak tahu bagaimana style warga komplek perumahan Nirwana. Aku mencoba berpakain pertengahan saja biar tidak mencolok atau malah memalukan tuan rumah. Yang terpenting bersikap sopan dan wajar.
......................................................
________________________________________________________________________
***
Malam sangat dingin. Mengundang sembilu di antara pesta fora kepedihan. Seperti angin-angin yang mabuk sempoyongan menghamtam semua yang menghalang. Kota bertuah yang dulu penuh pesona dengan tuahnya tapi hari ini hanya kuah-kuah nestapa menggenang di kalbuku dan terlebih lagi di jiwa Salimah. Sudut-sudut kota hanya ada teriakan kengerian akan masa-masa yang akan kami jalani masing-masing. Aku dan Salimah yang terlalu dini meminum anggur kepedihan dalam cawan kehampaan akan mimpi-mimpi kami. Ini kutukan atau ujian. Begitu tipis aku memahaminya. Antara cinta atau pengkhianatan tanpa rancangan. Sosok Salimah adalah wanita sederhana, bersahaja jauh dari aroma tuntutan kebanyakan wanita. Lebih suka menerima kepedihan dengan damai dan keindahan dengan bijaksana. Kerudungnya yang lebar menggambarkan jiwanya yang anggun menjaga marwah titah Tuhan dan keberadaban kaum hawa. Meskipun pernah terusir dari surga bukan berarti tidak ada kesempatan memperbaiki jejak-jejak generasi. Gadis yang kujumpai pertama kali pada Januari 2010 di pertemuan para aktivis di sebuah organisasi inetelktual pada saat itu. Kian membekas dalam tapakkan langkahku. Apakah aku ini yang disebut pengkhianat cinta. Kadang aku menghujam diriku dengan cercaan yang bertubi-tubi. Aku malu padanya. Sangat banyak jasanya padaku. Sebelum pertunangan kami dia selalu mendukung semua mimpi-mimpi dan bahkan pengorbananya telah pun ia hidangkan padaku. Yang sangat aku ingat ketika mendirikan usahaku, aku meminjam uang padanya yang kini belum jua aku bisa menggantinya. Dengan hati yang suci dia telah melupakan hutangku itu. Bukan soal hutang budi, tapi lebih kepada rasa kemanusian itu. Namun kini aku juga sedang ditugaskan oleh Tuhan dan dituntun para malaikat untuk menolong seseorang meletakkan pondasi nyawanya. Malam semakin dingin aku berusaha berbicara pada Salimah. Dia masih di depan rumahnya. Aku masih merasa malu dan ragu untuk berkata apa pun. Meski dia sudah tahu apa yang akan aku katakan. Walaupun aku tak bisa menatapnya dalam-dalam, aku mencoba membuka bibir ini.
“Dik, maafkan abang, atau sebaiknya abang pergi saja, ini seperti memakan buah simala kama.”
“Bang, jangan ragu, jika ini adalah jalan terbaik, laksanakanlah.”
“Bagaimana dengan engkau dik?”
“Tidak mengapa bang, cinta bukan soal perasaan semata, tapi cinta yang sejati adalah hakikat keselamatan dan kebahagiaan atas manusia itu sendiri. Jika cinta yang abang miliki bisa menyelamatkan nyawa manusia. Itulah cinta.”
“Dik...bagaimana dengan cintamu dan janjiku dulu untuk menikah dan bersama denganmu?”
“Bang, dengan kejadian ini justru aku telah menemukan arti cintaku, yaitu kerelaan, bermanfaat bagi sesama, dan aku lebih mengerti arti kebijaksanaan dan kedewasaan. Tidak mesti apa yang kita inginkan akan kita dapatkan dalam genggaman, kebersamaan juga bukan jaminan cinta itu satu. Karena rebana akan tetap memainkan iramanya walau masing-masing berbeda fungsi. Indah dalam kejauhan.”
“Adikku, maafkanlah aku yang kiranya telah melukai jantung cintamu, menyengsarakan semua mimpimu dan mengubur hidup-hidup harapan kita. Engaku telah banyak mengajarkanku lebih dari sekedar cinta tapi arti keagungan kemanusiaan itu. Indah dalam kerelaan, ketulusan dari jiwa nan suci, aku berdoa semoga engkau adalah wanita surga yang lahir dari dunia yang fana ini dan membawa aroma kedamaian yang tiada tara.”
“Sudah...sudahlah bang, ini bukan lamunan kita seperti hari-hari kemarin, ini adalah kenyataan yang hanya saja empedu dicampur madu dan sari pati keluhuran cinta. Biarlah aku jalani seperti ini dulu, karena cinta yang abang perjuangkan untuk banyak orang, dia, nyawa, keluarga dan generasi penerus. Sementara aku hanya untuk diriku sendiri.”
“Apakah engkau tetap sudi menikah denganku setelah aku memiliki istri, dik?” tanyaku
“Bang, kelu lidahku, beku suaraku, remuk hatiku telah aku lebur dalam harapan cinta-Nya yang suci. Tidak ada yang salah dengan cinta, namun sisinya saja yang berbeda, hari ini ia tidak berada di sisiku, jika suatu hari ia datang lagi dan membawa aroma harapan kepada cinta abang, aku akan berkirim puisi tanda aku siap menjadi istri kedua abang, namun jika aku tiada berkirim puisi itu bertanda perahu siap berlayar ke dunia yang aku pun tak tahu harus merindu.”
.........
Di Antara Dua Mutiara Surga
*********************************************************************
-Ketemu pak Norman dan Putrinya yang melamun
-Putrinya mulai mendengarkan bacaan Wahyu, tapi belum optimal, sudah menggerakkan bibirnya mencoba untuk tersenyum tapi masih berat
-Hari ahad Wahyu datang lagi, kali ini Iza (nama putri pak Norman) mulai tersenyum dan tertawa kecil
-Pak norman meminta Wahyu untuk datang lagi dan Iza pun bisa tersenyum lebar, tertawa cukup bebas dan sudah bicara dengan Wahyu dan ayahnya. Dia merasa nyaman dengan Wahyu dan mendapatkan spirit baru.
-Pak Norman menanyakan apakah Wahyu sudah menikah (karena pak Norman telah berjanji akan menikahkan siapa saja pria yang bisa membuat Iza tersenyum dan bahagia), Wahyu bilang memang belum. Akhirnya tanpa diketahui Wahyu dan Iza, pak Norman merencakan pernikahan mereka. Iza jatuh hati dengan Wahyu, tapi sebenarnya Wahyu telah bertunangan, tapi masih diundur 6 bulan, tapi ia tidak tega menhancurkan harapan pak Norman dan Iza. Selain Iza ada trauma kehilangan orang yang disayangi juga bisa terserang jantungan karena mendengar berita buruk atau membuatnya sedih mendalam. Banyak pertimbangan yang membuat Wahyu bingung dan ketika ia mau mengungkapkan kepada pak Norman, pak Norman sudah mengumpulkan keluarga beliau tak peduli kalau memang keluarga Wahyu jauh dan tidak masalah akadnya tidak dihadirnya mereka. Yang penting wahyu bisa menikah dengan Iza.
-Wahyu begitu sulit, apakah ia juga jatuh hati dengan Iza Wardatul Jannah atau lebih kepada penyelamatan nyawa manusia, tapi ia tak ingin khianati pertunangannya dengan Salimah. Akhirnya wahyu menceritakan semuanya kepada pak Norman, namun sudah terlanjur keluarga pak Norman sudah tau jadwal pernikahan dan terutama sekali menjaga perasaan Iza. Satu-satunya solusi Wahyu meminta pak Norma menemui Salimah dan meminta pengertian dan pak Norma sudah pun siap jika Wahyu juga menikahi Salimah sebagai istrinya yang kedua. Namun karena memang kondisinya menyangkut nyawa akhirnya Salimah dengan jiwa yang berat merelakannya, dan memberi pengertian kepada orang tuanya dan ia juga rela memberi pengertian kepada keluarga wahyu. Akhirnya pernikahan itu berlangsung dan hati Wahyu dalam kecamuk yang amat sangat dan begitu juga Salimah, dia masih mempertimbangkan apakah masih bisa menerima Wahyu sebagai suaminya walau harus menjadi istri kedua.
by : BTF
Novel (Cuplikan Novel Muklisin Al-Bonai ke-2)
Posted by MiNDa magazine online
Selasa, 21 Juni 2011, under
sastra
|
0
komentar
One Response to "Novel (Cuplikan Novel Muklisin Al-Bonai ke-2)"