Membaca Ulang Gurindam 12 Dari Sisi Yang Berbeda
Oleh: Muklisin Al-Bonai, S.Pd
Bayan: Mencari Sahabat
Cahari olehmu akan sahabat
Yang boleh dijadikan obat
(Fasal 6)
Saya jadi terkesan dan tersentuh oleh kata-kata penuh makna yang dikirimkan oleh seorang sahabat saya melalui pesan singkat atau sms, yang isinya:
“Sahabat adalah seseorang yang selalu menghampiri kita ketika seluruh dunia menjauh, karena persahabatan itu seperti tangan dan mata. Saat tangan terluka, mata menangis. Saat mata menangis tangan menghapusnya.”
Sahabat adalah orang yang sangat kita butuhkan dalam melangkah tetap menjani kehidupan ini. Sahabat akan kita butuhkan sebagai penghapus kesunyian, penolong saat bimbang dan merupakan tempat berbagi.
Bahwasanya Raja Ali Haji memberi nasihat agar setiap kita, baik pemuda maupun yang tua-tua untuk bisa mencari “Carilah Sahabat yang Menjadi Obat”. Sebuah ungkapan bijak, “Sahabat sejati adalah orang yang dapat berkata benar kepada Anda, bukan orang yang hanya membenarkan kata-kata Anda.”
Coba kita bayangkan jika hidup sendirian di tengah hutan, bukankah kita akan kesepian? Kita makhluk sosial yang membutuhkan orang lain, kita tidak bisa hidup sendiri. Manusia saling bergantung dengan manusia lainnya. Kita butuh orang lain untuk berbuat.
Dengan beberapa bait tulisan di atas, tentu dengan bijak kita semua sudah tahu betapa pentingnya sahabat, namun tidak sampai disitu saja. Lantas, sahabat yang bagaimana yang bisa dijadikan teman berbagi? Sebagian orang mengatakan, “Dia hanya teman saya, bukan sahabat saya”. Mungkin yang dikatakan teman tidak sedalam saat kita menyebut sahabat, karena sahabat itu lebih dekat, lebih mengerti, bisa diajak meneguk suka dan duka.
Maka carilah sahabat yang menjadi obat. Bagaiamankah cara mencari sahabat dengan kategori serupa itu? Seperti yang sudah ditekankan oleh sang Pujangga kenamaan Melayu Raja Ali Haji.
Carilah sahabat yang menjadi obat
Mungkin kerap kita temui orang yang hanya mau berteman dikala posisi kita sebagai kaum berpunya, akrab ketika kita memiliki posisi, dll. Akan tetapi, lain pulut lain padi, lain di mulut lain di hati, ketika kita jatuh, kita tak menemukan orang-orang yang siap membantu kita bangkit, mereka seolah-olah tidak mengenal kita.
Ketahuilah bahwa sedikit sekali kawan yang mau berkorban untuk sahabatnya, tetapi bukan berarti tak ada. Jika kita menemukan mereka yang sedikit itu, itulah ia sahabat yang menjadi obat, ia akan menjadi penawar saat sakit, ia adalah sahabat yang tidak akan meninggalkanmu dalam kesengsaraan dan keterpurukan. Indah lantunan nasihat Rasulallah SAW, ”Seseorang itu akan mengikuti agama teman dekatnya. Maka coba perhatikan, siapa yang menjadi teman akrab seseorang.” [HR. Abu Dawud: 4833, Ahmad: 7968 dan At- Tirmidzi: 2378].
Jelaslah, jika sahabat kita orang baik, shaleh, ia akan mengajak kita pada kebaikan.
“Seseorang yang berakhlak buruk jika berteman dengan orang-orang berakhlak baik, kemungkinan besar ia akan berubah menjadi baik, begitu juga sebaliknya, jika orang baik bergaul dengan orang-orang berakhlak buruk, lambat laun ia akan terpengaruh juga”.
Seseorang akan mudah dinilai dengan siapa dia bergaul. Kadangkala kebiasaan kawan akan mempengaruhi prilaku temannya. Kalau kawannya banyak punya positifnya, ya kemungkinan besar kawannya juga ikut positif, tapi kalau sebaliknya yang terjadi kawannya lebih dominan negatif, jadi bisa jadi dia juga seperti teman-temannya itu, kecuali dia memiliki keimanan yang tangguh dan terpelihara dari maksiat.
Seperti wasiat yang indah ini, “Siapa yang berteman dengan tukang jual minyak wangi, maka ia akan kebagian harumya, dan siapa yang berteman dengan tukang besi, maka ia akan terkena percikan panas apinya.”
Ini sunatullah, ada hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi satu sama lain. Jadi, berhati-hatilah dan jelilah dalam mencari sahabat. Bisa jadi kawan kita menjerumuskan pada liang kehancuran dan api neraka. Bisa juga yang mengajak ke surga.
Timbul pertanyaan, mengapa masih ada pemuda suka berbuat kerusakan serta jauh dari ketaatan pada Allah? Ternyata setelah diamati lebih dekat di kiri kanan mereka ada teman-teman mereka yang seperti mereka.
Sebenarnya ada di antara mereka yang ingin berubah menjadi pemuda dan pemudi yang baik. Akan tetapi karena tetap berbaur dengan teman-teman yang tidak baik, maka mereka pun kembali seperti semula dan masuk ke perangkap yang sama. Namun, jangan pernah berputus asa atas rahmat dan ampunan Allah,
”Bersegeralah kepada ampunan Tuhanmu yang Dia menyediakan surga bagimu seluas langit dan bumi.”
Jadi, kalau ada di antara kita yang merasa berada dalam cengkraman pengaruh teman-teman yang kurang baik, kemudian di dalam hati kita ingin berubah menjadi pemuda yang baik dan berguna, maka hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah taubat dan membersihkan diri atau mengobati hati kita yang sudah lama berkarat.
Maka, anjuran Raja Ali Haji dalam Gurindam Fasal 6 bait ini sangat penting untuk mencari sahabat yang bisa kita ajak untuk saling menuntun dalam kebaikan, saling nasihat menasehi dan tetap dalam kesabaran, dan sahabat yang menjadi obat bagimu dan juga menjadi penawar baginya dan semoga persahabatan itu berbuah surga. Sahabat yang setia dan menjadi kawan dunia akhirat, ini bisa dikaitkan apa yang dimaksud Raja Ali Haji pada bait lainnya dalam Fasal yang sama:
Cahari olehmu akan kawan
Pilih segala orang yang setiawan
Al-Qur’am telah jauh abab agar mencari sahabat, pemimpin yang menjadi kawan yang setia, dan bukan orang kafir.
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang yang beriman...”(QS. Ali-Imran : 28)
Supaya kita selamat dunia akhirat, kita harus jeli mencari sahabat yang bakalan menjadi obat. Ciri-cirinya:
Jika kita melihanya kita ingat dengan Allah.
Ia selalu mengajak kepada kebenaran dan kebaikan.
Ia selalu mengeluarkan perkataan yang baik “Menasehati dalam kebenaran dan menasehati dalam kesabaran.
Ia akan menjaga amanah kita dan ia menolong tanpa diminta dan tidak harap balasan.
Ia bahagia jika kita mendapat nikmat, ia paling dulu bersedih jika kita ditimpa musibah.
Ia selalu menanyakan jika ia tidak melihat kita dan selalu mendoakan kita. Ia berdoa agar kita menjadi salah seorang teman surganya.
Mutiara Kisah:
BERSAHABAT HINGGA KE SURGA
Berikut kisah tentang bagaimana perjuangan anak muda untuk menemukan sahabat yang menjadi obat baginya dan juga setia dalam perjalannya. Dalam menghidangkan kisah ini tidak bermaksud mengulang kisah yang mungkin sudah sering dibaca dalam buku-buku tamsil atau kumpulan kisah secara populer, namun lebih dari itu untuk menyakinkan kita bahwa mencari sahabat yang menjadi obat itu suatu keharusan.
Di tanah Kurdistan, ada seorang raja yang adil dan shalih. Dia memiliki putra; seorang anak lelaki yang rupawan, pemberani, cerdas dan patuh. Detik-detik yang paling membahagiakan raja adalah, ketika dia mengajari anaknya itu membaca kalam ilahi Al-Qur’an Al-Karim. Sang raja juga menceritakan kepadanya kisah-kisah kepahlawanan para panglima dan tentaranya di medan pertempuran. Anak raja yang bernama Said itu, sangat gembira mendengar penuturan kisah ayahnya. Said merasa sangat jengkel jika di tengah-tengah cerita ayahnya, tiba-tiba ada yang membuat cerita terputus.
Tidak jarang, ketika sedang asyik menghayati cerita ayahnya, tiba-tiba pengawal memberitahukan bahwa ada tamu penting yang harus ditemui oleh raja. Sang raja paham apa yang dirasakan anaknya.
Dengan bijak, ayahnya memberi nasihat kepada putranya, “Anakku Said, sudah waktunya kau mencari sahabat sejati yang setia dalam suka dan duka serta menjadi obat bagimu. Seorang sahabat yang baik, yang akan rela membantumu untuk menjadi orang baik dan berguna. Sahabat sejati yang kau ajak saling mencintai untuk surga.”
Said terkejut dan penuh tanya mendengar perkataan ayahnya yang bijak itu.
“Apa maksud Ayahanda dengan sahabat yang bisa diajak saling mencintai untuk surga?” tanya Said penasaran.
“Dia adalah sahabat sejati yang benar-benar mau besahabat dengan dirimu, bukan karena derajatmu, akan tetapi karena kemurnian cinta itu sendiri, yang terbentuk dari keikhlasan hati. Dia mencintaimu karena Allah. Dengan dasar itu, kau pun mencintainya dengan penuh keikhlasan; karena Allah. Kekuatan cinta kalian akan melahirkan kekuatan yang luarbiasa yang membawa manfaat dan kebaikan. Kekuatan cinta itu pula akan bersinar dan membawa kalian masuk ke dalam surga.”
“Bagaimana cara mencari sahabat sejati itu, wahai Ayahanda?” tanya Said.
Sang raja menjawab, “Kamu harus menguji orang yang hendak kau jadikan sahabat sejati. Ada sebuah cara menarik untuk menguji mereka. Undanglah siapa pun yang kau anggap cocok, untuk menjadi sahabatmu saat makan pagi di sini, di istana. Jika sudah sampai di sini, ulurlah dan perlamalah waktu penyajian makanan. Biarlah mereka semakin lapar. Lihatlah apa yang kemudian mereka perbuat. Saat itu, rebuslah tiga butir telur. Jika ia tetap bersabar, hidangkanlah tiga telur itu kepadanya. Lihatlah, apa yang kemudian yang mereka perbuat! Itulah cara yang paling sederhana bagimu. Syukur, jika kau bisa mengetahui perilakunya lebih dari itu.”
Said sangat gembira mendengar nasihat dari Ayahandanya seorang raja yang shalih. Dia pun mulai melakukan apa yang dikatakan Ayahandanya, ia mempraktikkan cara mencari sabahat sejati yang cukup langka itu. Mula-mula, ia mengundang anak-anak para pembesar kerajaan satu persatu. Sebagian besar dari mereka marah-marah karena hidangan tidak keluar-keluar. Bahkan, ada yang pulang tanpa pamit dengan hati kesal, ada yang memukul meja, ada yang melontarkan kata-kata tidak terpuji; mencaci maki karena terlalu lama menunggu hidangan.
Di antara teman anak raja itu, ada seorang yang bernama Adil. Dia anak seorang menteri. Said melihat, sepertinya Adil anak yang baik hati dan setia. Maka, dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk sarapan pagi. Adil memang lebih sabar dibandingkan anak-anak pembesar sebelumnya. Dia menunggu keluarnya hidangan dengan setia. Setelah dirasa cukup, Said mengeluarkan sebuah piring berisi tiga telur rebus.
Melihat itu, Adil berkata keras, “Hanya ini sarapan kita? Itu tidak cukup mengisi perutku.”
Adil tidak mau menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja meninggalkan Said sendirian. Said diam. Tidak perlu meminta maaf pada Adil karena telah meremehkan hidangan itu yang telah direbus oleh Said. Dia mengerti Adil tidak lapang dada dan tidak cocok menjadi sahabat sejatinya.
Hari berikutnya, dia mengundang anak seorang saudagar terkaya. Tentu saja, anak saudagar itu sangat senang mendapat undangan makan pagi dari seorang pangeran. Malam harinya. Sengaja ia tidak makan agar paginya bisa makan sebanyak mungkin. Dia membayangkan, makanan anak raja pasti enak dan lezat.
Pagi-pagi sekali, anak saudagar kaya itu telah datang menemui Said. Seperti anak-anak sebelumnya, dia harus menunggu waktu yang lama sampai makanan dihidangkan. Akhirnya Said membawa piring dengan tiga piring berisi tiga butir telur.
“Ini makanannya, saya ke dapur dulu mengambil air minum,” kata Said seraya meletakkan piring itu di atas meja.
Lalau, Said masuk ke dalam. Tanpa menunggu lagi, anak saudagar itu langsung melahap satu persatu telur itu. Tidak lama kemudian, Said ke luar membawa dua gelas air putih. Dia melihat ternayata tiga telur itu telah lenyap.
“Mana telurnya?” tanya Said pada anak saudagar.
“Telah aku makan.”
“Semua?”
“Ya, habis aku lapar sekali.”
Melihat itu Said langsung tahu bahwa anak saudagar itu juga tidak bisa dijadikan sahabat setia. Dia tidak setia. Tidak bisa merasakan suka duka bersama. Sesungguhnya, Said belum makan apa-apa.
Said merasa jengkel kepada anak-anak di sekitar istana. Mereka semua mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan. Mereka tidak pantas menjadi sahabat sejatinya. Akhirnya ia meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mencari sahabat sejati.
***
Akhirnya, Said berpikir mencari sahabat di laur istana. Kemdudian, mulailah Said berpetualangan melewati hutan ladang, sawah, dan kampung-kampung untuk mencari seorang sahabat yang baik.
Sampai akhirnya, pada suatu hari yang cerah, dia bertemu dengan anak seorang pencari kayu yang berpakaian sederhana. Anak itu sedang memanggul kayu bakar. Said mengikutinya diam-diam sampai anak itu tiba di gubuknya. Rumah dan gubuk anak itu menunjukkan bahwa ia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda kecerdasan dan kebaikan hati. Anak itu mengambil air wudhu’, lalu shalat dua raka’at. Said memerhatikannya dari balik pohon.
Selesai shalat, Said datang dan menyapa, ”Kawan, kenalkan aku Said. Kalau boleh tahu, namamu siapa? Kau tadi shalat apa?”
“Namaku Abdullah. Tadi aku shalat dhuha.”
Lalau, Said meminta anak itu agar bersedia bermain dengannya, dan menjadi temannya.
Namun, Abdullah menjawab, “Kukira kita tidak cocok menjadi sahabat. Kau anak orang kaya, malah mungkin anak bangsawan. Sedang aku, anak miskin. Anak seorang pencari kayu bakar.”
Said menyahut, “Tidak baik kau mengatakan begitu. Mengapa kau membeda-bedakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Semuanya sama, hanya takwa yang membuat orang mulia di sisi Allah. Apa aku kelihatan seperti anak yang jahat sehingga kau tidak mau berteman denganku? Menagapa tidak kita coba beberapa waktu dulu? Kau nanti bisa menilai, apakah aku cocok atau tidak menjadi sahabatmu.”
“Baiklah kalau begitu, kita bersahabat. Akan tetapi, dengan syarat, hak dan kewajiban kita sama, sebagai sahabat seia-sekata.”
Said menyertai syarat yang diajukan oleh anak pencari kayu itu. Sejak hari itu, mereka bermain bersama; pergi ke hutan bersama, memancing, dan berburu kelinci bersama. Anak tukang kayu itu mengajarinya berenang di sungai, menggunakan panah, dan memanjat pohon di hutan. Said sangat gembira sekali berteman dengan anak yang cerdas, rendah hati, dan setia. Akhirnya, dia kembali ke istana dengan hati gembira.
Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya. Anak pencari kayu itu langsung mengajaknya makan di gubuknya. Dalam hati, Said merasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan, dia telah diundang makan.
Di gubuk itu, mereka makan seadanya. Sepotong roti, garam, dan air putih. Namun, Said makan dengan sangat lahap. Ingin sekali rasanya dia minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu anak pencari kayu ini sedang mengujinya. Oleh karena itu, Said merasa cukup dengan yang diberikan kepadanya.
Selesai makan, Said mengucapkan hamdallah dan tersenyum. Setelah itu, mereka kembali bermain. Said banyak menemukan hal-hal baru di hutan, yang tidak ia dapatkan di istana. Oleh sahabatnya itu, dia diajari untuk mengenali dan membedakan jenis dedaunan dan buah-buahan di hutan; antara daun dan buah yang bisa dimakan, yang bisa dijadikan obat.
“Dengan mengenal jenis buah dan dedaunan di hutan secara baik, kita tidak repot jika suatu saat tersesat. Persediaan makanan ada di sekitar kita. Inilah keagungan Allah!” kata anak pencari kayu.
Seketika itu, Said tahu bahwa ilmu tidak hanya bisa didapat di madrasah seperti di ibu kota kerajaan. Ilmu ada di mana-mana. Bahkan di hutan sekalipun. Hari itu Said banyak mendapatkan pengalaman berharga.
Ketika matahari sudah condong ke Barat, Said pamitan kepada sahabatnya itu untuk pulang. Tidak lupa, Said mengundangnya makan di rumahnya besok pagi. Lalu, dia memberikan secarik kertas pada temannya.
“Pergilah ke ibu kota, berikan kertas ini kepada tentara yang kau temui di sana. Dia akan mengantarkanmu ke rumahku, “ kata Said sambil tersenyum.
“Insya Allah aku akan datang,” jawab anak pencari kayu itu.
Pagi harinya, anak pencari kayu itu sampai juga ke istana. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Said adalah anak raja. Mulanya dia ragu untuk masuk ke istana. Akan tetapi, jika mengingat kebaikan dan kerendahan hati Said selama ini, dia berani masuk juga.
***
Said menyambutnya dengan hangat, penuh rasa persahabatan dan senyum gembira. Seperti anak-anak sebelumnya yang telah diundang makan di ruang makan itu, Said pun menguji temannya ini. Dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, anak pencari kayu itu sudah biasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama beberapa hari. Atau, terkadang makan daun-daun mentah saja. Dia hanya berpikir, seandainya semua anak bangsawan bisa sebaik anak raja ini, tentu dunia akan tentram.
Selama ini, dia mendengar bahwa anak-anak pembesar kerajaan, senang hura-hura. Namun, dia menemukan seorang anak raja yang santun dan shalih.
Akhirnya, tiga butir telur masak pun dihidangkan. Said mempersilahkan sahabatnya untuk memulai makan. Anak pencari kayu itu mengambil satu. Lalu, dia mengupas kulitnya pelan-pelan. Sementara Said mengupas dengan cepat dan menyantapnya. Kemudian, dengan senagaja Said mengambil telur yang ketiga. Dia mengupasnya dengan cepat, dan melahapnya. Sahabatnya selesai mengupas telur. Said ingin melihat apa yang akan dilakukan sahabatnya dengan sebutir telur itu, apakah ia akan memakannya sendiri atau...?
Anak pencari kayu itu mengambil pisau yang ada di dekatnya. Lalu, dia membelah telur itu menjadi dua; yang satu di tangannya, dan yang satunya lagi dia berikan kepada Said. Tidak ayal lagi, Said menangis dengan haru.
Lalu Said pun memeluk anak pencari kayu bakar itu erat-erat seraya berkata, “Engkau sahabat sejatiku! Engkau sahabat sejatiku! Engkau sahabatku masuk surga.”
Sejak saat itu, keduanya bersahabat dengan sangat akrab. Persahabatan mereka melebihi saudara kandung. Mereka saling mencintai dan saling menghormati karena Allah Swt.
Karena kekuatan cinta itu, mereka bahkan sempat bertahun-tahun mengembara bersama untuk belajar dan berguru kepada ulama yang tersebar di Turki, Syiria, Irak, Mesir dan Yaman.
Bulan berganti bulan dan tahun, akhirnya keduanya tumbuh dewasa. Raja yang adil; Ayahanda Said, meninggal dunia. Akhirnya Said diangkat menjadi raja untuk menggantikan Ayahandanya. Menteri yang pertama kali dia pilih adalah Abdullah, anak pencari kayu itu. Abdullah pun benar-benar menjadi sahabat seperjuangan dan penasihat raja tiada duanya.
Meskipun telah menjadi raja dan menteri, keduanya masih sering melakukan shalat tahajjud dan membaca Al-Qur’an bersama. Kecerdasan dan kematangan jiwa keduanya mampu membawa kerajaan itu maju, makmur, dan jaya; baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. (Oleh Muklisin Al-Bonai, S.Pd, bisa juga dibaca dalam buku karyanya Menyelam Cinta dalam Kolam Gurindam)
by : BTF
MEMBACA ULANG GURINDAM 12
Posted by MiNDa magazine online
Selasa, 21 Desember 2010, under
sastra
|
0
komentar
One Response to "MEMBACA ULANG GURINDAM 12"