Muda | Islami | Inspiratif | Ideal | Aktif
English French German Spain Italian Russian Portuguese Japanese Korean Arabic
by : BTF

TELAAH SASTRA/GURINDAM

Posted by MiNDa magazine online Selasa, 21 Desember 2010, under | 0 komentar
Menyelam Cinta dalam Kolam Gurindam
(Cara cerdas membaca kembali mutiara hikmah dari Gurindam 12 Karya Raja Ali Haji)
Oleh: Mukisin Al-Bonai


Bayan: Tentang mendididik dan membina Anak

Dengan anak janganlah lalai
Supaya boleh naik ke tengah balai
(FASAL 10)

Sudah sangat jelas Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas menyampaikan pesan cintanya bagi generasi penerus agar tetap meninggalkan, menjaga generasi-generasi yang baik, bermutu dan beraklah mulia. Sehingga anak atau generasi yang dibina bisa menjadi generasi yang memiliki bekal yang cukup baik agama (akhlak), sosial dan finansial. Agar anak itu hidup layak dan terhormat serta menjadi anak kebanggaaan orang tua yang menjadi teladan generasi robbani (Supaya boleh naik ke balai).

Tanggung jawab finansial dan moral orang tua terhadap anak
Dalam adat atau kebiasaan umum sebagian besar manusia sudah menyadari bahwa tentang hal ikhwal finansial adalah tanggung jawab orang tua atau wali. Ada keterkaitan erat antara isi gurindam dua belas sebagai sastra melayu dan Islam sebagai agama yang merupakan pedoman hidup. Dalam Islam sudah diatur secara lengkap bahwa anak-anak secara tanggung jawab finansial, aslinya adalah pada pundak orang dewasa (orang tua). Kesadaran dan tanggung jawab dibangun oleh Islam dengan jelas karena ini adalah kebersambungan generasi. Dalam Al-Qur’an juga sudah dijelaskan, yang artinya, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa’)
Ahmad Zairofi menjelaskan bahwa ayat di atas menegaskan dimensi usaha dan ikhtiar. Bahwa untuk mengurus generasi yang baik, anak-anak yang berkualitas, diperlukan ikhtiar yang maksimal, yang bisa memberikan mereka ketersediaan sumber daya, apa-apa yang bisa mengantarkan mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Tetapi keterbatasan bisa mengantarkan pada cara pandang yang keliru dan bisa keluar dari norma agama dan hukum. Misalnya ada orang tua yang tega membuang atau menjual anaknya karena tidak mampu membari nafkah, bahkan pada tingkat kejahiliyahan membunuh mereka. Allah juga menjelaskan dalam Al-Qur’an yang artinya,
“Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS. Al-Isra’).
Selain materi, ada hal yang menjadi pilar utama sang anak ataupun hak mereka secara jiwa. Orang tua tidak hanya memberi materi, orang tua juga bertanggung jawab mengajarkan mereka, mendidik, dan membimbing

Anak titipan dan Ujian
Anak adalah titipan Allah kepada ayah dan ibu. Selain menjadi titipan, orang tua memiliki kewajiban menjaga, memilihara, mendidik dan membina anak agar menjadi orang yang paripurna. Anak adalah cobaan dan bisa jadi menjadi fitnah jika tidak bisa membinanya, Allah berfirman yang artinya, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 28)
Sayyid Qutb seorang ulama, menjelaskan bahwa kadang beban hidup bisa ditanggung oleh seseorang, tetapi ia tidak bisa bertahan bila beban itu berkaitan dengan istri dan anak-anaknya. Maka demi istri dan anak-anak itu, ia bisa berubah menjadi bakhil, penakut, demi memenuhi hajat istri dan anak-anak dengan rasa aman dan kecukupan. Lalu mereka berubah menjadi penghambat jalan kebajikan.
Berkesesuaianlah apa yang dikatakan oleh Raja Ali Haji sang pujangga Melayu itu, Dengan anak janganlah lalai. Jika kita tidak lalai, tidak terlalu memanjakan mereka, melakukan pembinaan dan didikan yang tepat, bisa jadi anak akan menjadi penerus langkah dan cita-cita luhur orang tuanya dan bisa diandalkan. Maka, kiranya dalam Guridam bait ini Supaya boleh naik ke tengah balai, memberikan gambaran kelak anak akan menjadi kebanggaan dan orang yang bermarwah serta berguna bagi agama dan bangsa.

Anak atau orang tua yang durhaka
Sudah suatu hal yang diketahui orang bahwa anak yang biasanya disebut durhaka kepada orang tua jika ia tak berbudi dan berbakti. Namun, tak bisa sepenuhnya disalahkan si anak jika ternyata orang tuanya sendiri tidak memenuhi hak dan kewajibannya (memberi nafkah materi, mendidik dan membimbing) sebagai orang tua. Maka, bisa jadi orang tua durhaka pada anak. Ada sebuah kisah, suatu hari seorang ayah mengadu kepada kahlifah Umar bin Khattab. Ia mengeluhkan anaknya yang ingkar dan durhaka.
Maka Umar pun memanggil anaknya.
“Apa yang membuat kamu durhaka kepada ayahmu?” tanya Umar.
Anak itu menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, apa sesungguhnya hak anak atas orang tuanya?”
Kalifah Umar menjawab, “Memberinya nama yang baik, memilihkan ibu yang baik (calon istri), dan mengajarinya Al-Qur’an.”
Anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku tidak berbuat satu pun dari yang engkau sebutkan.”
Umar menoleh ke ayah anak itu. “Sungguh engkau telah durhaka kepada anakmu sebelum ia durhaka kepadamu.”
Berdasarkan kisah ini ada tiga poin penting bagi orang tua agar bisa menjadi orang tua yang baik dan memenuhi hak anak-anak:
1. Berikan anak nama yang baik (sebagai doa)
2. Merupakan hal terpenting mencari calon istri (calon ibu bagi anak) yang shalehah dan dengan proses yang sesuai dengan ketentuan Islam.
3. Mengajarkannya Al-Qur’an (Mengajari anak ilmu Agama, tentang akhlak dan mendidiknya)

Anak sebagai Aset Dunia dan Akhirat
Manusia ketika sampai waktunya dijemput Sang Khalik dan pada saat itulah semua amal mereka terputus. Maka, ada tiga hal atau aset yang tetap mengalir ketika seseorang meninggal dunia salah satunya adalah do’a anak yang shaleh, begitulah Rasulullah menyampaikan dalam hadist shahih.
Anak sebagai karunia dan aset haruslah diperhatikan oleh orang tua agar ia benar-benar tumbuh dan menjadi orang yang berguna. Anak-anak akan menjadi aset yang berharga apabila orang tua bisa mengantarkan mereka secara baik.
Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mewariskan kepada anak-anak pengajaran yang baik dan memberi manfaat yang panjang (aset). Sehingga anak dan orang tua tidak hanya di dunia saja, tetapi tetap bertemu dan melakukan reuni akbar di Surga,
“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka [*], dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (QS. Ath-Thur: 21).
[*] Maksudnya: anak cucu mereka yang beriman itu ditinggikan Allah derajatnya sebagai derajat bapak- bapak mereka, dan dikumpulkan dengan bapak-bapak mereka dalam surga.
Tentunya anak dan orang tuanya harus shaleh dan menjalankan perintah Allah. Sehingga apa yang dikatakan Raja Ali Haji yang intinya bahwa anak di dunia bisa menaiki tempat istimewa bagi orang-orang tertentu (balai) karena ia menjadi teladan dan terpandang dari sikap dan akhlaknya. Di akhirat menjadi aset yang berharga, yaitu do’a anak yang shaleh.
Anak sebagai karunia dan amanah Allah bahkan hiasan kehidupan. Al-Qur’an berbicara anak sebagai hiasan dunia dan harapan hanyalah kepada yang Menciptakan segalanya (Allah),
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan amalan kebaikan yang kekal adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik menjadi harapan.”
Berkaitan dengan mendidik anak juga bisa kita ambil hikmah dari beberapa kisah berikut ini:
Kado Cinta untuk Ayahku
Suatu hari seorang ayah pulang membawa sebuah gulungan kertas pembungkus kado. Tiba-tiba anaknya yang masih berumur kira-kira 6 tahun datang dan berkata,
“Ayah, kertas apa itu?”
“Ini namanya kertas kado..”
“Ayah mau membungkus kado ya..?”
“Iya sayang...”
“Wah..kalau begitu aku mau buat kado juga...boleh ya yah aku mintak kertasnya satu?”
“Hmm..sayang, kado buat siapa coba?”
“Rahasia yah...”
“Kalau tidak berguna, jangan ya sayang..nanti kalau kamu sudah besar baru bisa..”
Keesokan harinya ayah anaknya ini seperti biasa pulang dari kantor dan sangat lelah kelihatan raut wajahnya. Terkadang ia tidak terlalu menghiraukan si buah hatinya itu. Setelah makan malam ia langsung tidur.
“Ayah..., ayah...”
“Hmm...ehh kamu...ada apa pagi-pagi udah bangunin ayah..?”
“Tidak ada apa-apa kok, cuma...aku mau ngasih tahu ada kado dari seseorang untuk ayah..”
“Masa..??”
“Ini...” si anak yang imut-imut itu memberikan sekotak kado yang telah dibungkus.
“Oh ya..coba ayah lihat isinya..hahh..kok kosong, ini kado dari siapa? Kamu mau ngerjain ayah ya?”
“Kado dari aku untuk ayah...”
“Kok kosong, sayang?”
“Tidak kosong ayah...di dalamnya ada ciuman hangat dari aku untuk ayah..dan ayah tidak akan lupa lagi denganku...”
Sang ayah memandangi anaknya yang masih belita itu, ia sangat tersentuh dengan apa yang dilakukan anaknya itu. Ia rangkul anaknya dan ia kecup keningnya yang mungil itu.
“Sayang, mulai sekarang ayah takkan lupa dengan kamu lagi, ayah akan bawa kotak ini ke mana pun ayah pergi, juga di kantor jika ayah rindu ayah akan buka kado ini supaya bisa mendapatkan kecupanmu, sayang..”
Taman Renungan:
Luar biasa dan mengharukan kisah tersebut. Seorang anak yang masih kecil dan belia, mereka juga tahu arti kepedulian dari orang tua dan membutuhkan kasih sayang yang cukup dari orang tuanya.
Jangan pernah terlalu sibuk dengan agenda-agenda di luar hingga lupa pada tanggung jawab anak dan pembinaan mereka. Bukankah orang tua mencari nafkah untuk anak dan istri? Bagaimana mungkin seorang ayah disibukan pada urusan yang tujuan utamanya adalah untuk keluarga, malah pada akhirnya lupa pada urusan keluarga itu sendiri, terutama tugas membina dan tanggung jawab terhadap anak.
Kado Cinta dari Ayah Tercinta
Dikisahkan seorang ayah yang mendidik anak laki-lakinya dengan disiplin yang tinggi dan tegas. Sang ayah selalu memberikan perintah yang harus dilakukan sang anak tanpa harus membantah. Bahkan, sang ayah tidak pernah merasa puas atas apa yang dilakukan anaknya, selalu saja tidak sesuai dengan keinginan sang ayah.
Suatu hari yang amat menyedihkan bagi sang anak adalah sang ayah dipanggil sang Khalik. Pada saat itu pun sang ayah seperti belum merasa puas atas apa yang dilakukan sang anak. Ada hal yang mengejutkan, sang ayah meninggalkan sebuah kado untuk sang anak yang dibungkus dengan rapi. Maka sang anak pun membukanya. Isi dari bungkusan kado tadi adalah sebuah surat yang berisi doa kepada Sang Khalik agar anaknya ini diberi jalan hidup yang berliku dan penuh dengan tantangan hidup. Anak ini pun menangis sejadinya dan juga sang ibu ketika membaca surat doa tersebut.
Taman Renungan:
Nah, pada saat itulah sang anak baru memahami tentang sikap ayahnya selama ini sepertinya sangat keras, kejam dalam mendidiknya. Padahal, jika ia mau melihat sisi lain dari sikap sang ayahnya bahwa hidup ini amat keras, bahwa hidup ini amat penuh dengan ujian, sehingga setiap orang harus mempersiapkan diri untuk menghadapi hidup ini. Dengan cara demikian itulah maksud sang ayah agar anaknya ini jika ia tinggalkan oleh sang ayah sudah kuat dan bisa menghadapi cobaan hidup serta tetap teguh.
Kisah lainnya juga tentang cara bijak mendidik anak:
Jika Anak Salah Didik, Ayalah yang Seharusnya Dihukum
Dikisahkan seorang anak berkeinginan mengantar ayahnya ke kantor dengan mengenderai mobil. Di tengah perjalanan, mobil tersebut mogok dan harus ke bengkel. Sementara itu sang ayah ke kantor dengan taksi. Namun sang anak berjanji akan menunggu ayahnya pukul 15.00 sore di bengkel tersebut.
Karena mobilnya masih dalam pengerjaan montir. Maka si anak merasa jenuh dan lama menunggu. Si anak ini pun pergi mengisi waktu kosongnya ke sebuah bioskop terdekat. Asyiknya menonton bioskop. Sang anak baru menyadari bahwa sakarang sudah pukul 17.00 sore. Sudah lewat. Ia lupa janjinya dengan sang ayah.
Ia pun ke tempat bengkel tersebut. Rupanya sang ayah sudah lama menunggu.
“Kamu ke mana saja, janjinya kan jam 15.00 di sini?”
Akhirnya sang anak membuat alasan dan berkilah (berbohong) kepada sang ayah. Tapi ternyata sang ayah tahu bahwa anaknya pergi ke bioskop berdasarkan info dari montir. Dan, ia berkata,
“Nak, mungkin ayah telah salah mendidikmu selama ini, sehingga kamu begini. Sebagai hukumannya ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki.”
Sang ayah pun pulang ke rumah dengan berjalan kaki walau rumahnya sangat jauh dan hari sudah hampir magrib. Namun, sang anak tidak mungkin lagi membujuk sang ayah. Akan tetapi sang anak baru menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan dan mulai memperbaiki dirinya.
Taman Renungan:
Ada banyak cara mendidik anak. Kadang karena keegoan sebagai orang tua yang menafkahi anak jika anak salah yang paling lumrah adalah sang anak yang dihukum. Mengapa tidak sang ayah? Yang mungkin juga salah dalam mendidik sehingga anaknya melakukan kesalahan besar. Seperti kisah di masa Umar bin Khattab yang sudah kita singgung sebelumnya.
Memang setiap orang tua memiliki pemahaman yang berdeda dan cara yang berbeda dalam mendidik anaknya, ada dengan cara yang keras ada juga dengan cara halus dan bijak.
(Bisa juga dibaca dalam buku Kado Cinta untuk Sahabat di Seluruh Dunia, dan buku Menyelam Cinta dalam Kolam Gurindam Karya Muklisin Al-Bonai)

One Response to "TELAAH SASTRA/GURINDAM"