oleh: D Rusmawati
Segala yang bermula pasti akan berakhir, setiap yang berpangkal pasti
akan berhujung. Demikian juga dengan ceritaku ini. Tahun 1999 tercatat sebagai
malam pertama aku terlahir kedunia. Dari rahim seorang ibu yang bernama Asiah.
Sejak malam itu, aku menjadi bayi tersayang dan tercinta. Tahun ini umurku telah
beranjak dewasa. Bulan November kemarin umurku genap ke enam belas tahum.
Sepucuk surat bersampul putih dan berpita hitam tiba-tiba datang
kepadaku. Saat itu aku sedang duduk seorang diri di balik candela. Ku picingkan
mataku pada beberapa arah. Ku cari. Apakah ada seseorang di sekitarku. Siapakah
gerangan yang telah mengantarkan surat ini untukku.
Perlahan ku buka sampul srat ini. Ku baca dengan seksama. Jantungku
berdegub hebat. Sepucuk surat misterius hadir tiba-tiba kepadaku. Dalam surat
ini menyampaikan sebuah pesan. Supaya aku bersiap mengahadapi malam terakhir di
dunia. Aku akan mati esok hari. Alangkah terkejutnya aku dengan berita ini.
Segera ku ambil air wudlu, ku laksanakan sholat. Dari sholat wajib
dan juga sholat sunnah. Tidak ada satu detikpun waktu malam ini yang berlalu
dengan sia-sia. Ku baca al-Qur’an, ku pelajari buku-buku islamiyah, dan ku kaji
ulang pesan-pesan para guru-guruku selama di pesantren.
Aku masih ingat dengan pesan bapak Zuhri;”Kehidupan ini hanya
sementara, untuk numpang minum dan makan saja. oleh karena itu, menjadilah
seorang penumpang yang baik dan beretika sehingga Tuan yang di tumpangi akan
belas kasihan dan memberikan yang terbaik dari yang telah di punyai.” Aku tidak
faham sepenuhnya dengan pesan ini, maka aku bertanya.
“Ustad, minuman apakah yang di ibaratkan dalam pesan itu?”
“Minuman ini bermakna kesenangan. Sebuah kodrat manusia, apabila
mendapat kesenangan, maka ia akan melepas kesengan itu dengan cara yang di luar
aturan kebaikan. Sehingga ini bisa menyebabkan di kutuk Tuhan.” Aku semakin
tidak faham, dan aku kembali bertanya.
“Ustad, apa bentuk-bentuk kesengan yang di maksudkan?”
“Kesenangan boleh bermakna “harta, jabatan, dan keluarga.” Bila
kalian telah mendapati semua ini, maka jangan kalian terlena kesenagan bersama
mereka sementara Tuhan engkau lalaikan. Jangan pernah lakukan itu.”
Mungkin aku termasuk salah satu siswa yang paling senang bertanya. Dan aku
kembali bertanya kepada guruku.
“Bila air minum bermakna kesenangan, lantas makanan bermakna apa,
Ustad?”
“Kamu pelajar pintar bertanya!”
“Ya. Karena saya belum faham, bukankah lebih baik bertanya daripada
sesat di jalan. Apalagi ini masalah abstarak. Keilmuan yang hanya di ketahui
bila telah ada tafsiran yang dapat di terima oleh akal logika.”
“Ya. Kau akan ku beri nilai A ketika akhir semester.”
“Itu tidak terlalu penting.” Bisikku pelan.
“Makanan di sini bermakna segala kebahagiaan. Senang makan-makanan
mewah dan tidak bergizi. Dalam pesan ini menggunakan bahasa langsung tentang
makan. Biasanya, manuasia akan sangat mudah di rayu dengan keburukan bila
perutnya sedang lapar. Mungkin saja haus bisa di tahankan. namun, bila lapar,
barangkali sangat sulit untuk dapa di hindari.”
“Sejak kecil, saya berada di pondok. Makanan yang saya makan sangat
sederhana. Rumput-rumput sekeliling pondok, atau rumput-rumput di pekarangan
sekolah adalah makanan setiap hari. Seperti kangkung, bayam dan katu. Aku sangat
hemat terhadap apapun. Dalam satu bulan aku hanya mengahsabiskan uang sepuluh
ribu rupiah. Itupun karena ku gunakan untuk transporttasi. Aku juga sangat
jarang merasakan kebahagiaan. Apakah ada jaminan untukku masuk surga?”
“Tuhan menjanjikan. Untuk orang yang baik adalah srga. Itu pasti,
tetaplah berbuat kebaikan untuk mendapatkan surganya.”
“Aku baik di matamu, namun buruk di mataku sendiri.”
“Why?”
“Selama ini aku kurang bahagia di dunia, aku tidak menjadi orang
pandai, karena aku kekurangan gizi, aku tidak berfisik indah kerena aku tidak
terawat, dan aku hanya gembel, karena aku tidak boleh bersandang mewah.
Sementara di lain tempat, Tuhan mencintai keindahan dan keindahan dunia ini
untuk di manfaatkan, bukan untuk di haramkam. Sementara, selama ini kau selalu
mengharamkan yang khalal tanpa sepengetahuanmu. Sejak malam ini, tidak mungkin
aku kan memanggilmu guru. Kerena di sebabkan kamu, aku menjadi bimbang dalam
mengahadapi malam terakhir ini.”
“Oh.” Desah guruku.
“Kau tidak bisa memberikan kebanaran argumentasi. Kerena
kepercayaanmu kepada Allah, hanya sebuah kepura-puraan.”
“Maafkan aku!”
“Ya, ku terima maafmu, karena ini adalah malam terakhirku di dunia.”
“Temuilah janji Tuhanmu.”
Mentari pagi mulai menyapa dengan ramah. Sinarnya menghangatkan yang
kedinginan, dan memberi kesegaran seusai malam berganti. Sementara aku telah
netral berada di balik bungkusan kain kafan. Di kelilingi oleh sanak keluarga,
mereka menangis dan mengalirkan air mata. Alunan ayat-ayat suci al-Qur’an
bergema di cakrawala langit. Para tentara malaikat dengan rapi berbaris dan
tersenyum menyambut kedatanganku.
Janji itu menjadi kenyataan. Aku kembali kepada sang pencipta dengan tenang.
Terakhir jasadku di hantarkan oleh ayah dan ibu serta sanak saudara. Aku merasa
bahagia dengan berita melalui surat itu. Kini, kekasihkupun turut memperhatikan
ketika tubuhku di lempar batu dan di tutup tanah kuburan. Kini tercatat di atas
nisanku.” Telah beristirahat dengan tenang, Dewi, santri pesantren yang rajin
bertanya.”
One Response to "Malam Terakhir"