Muda | Islami | Inspiratif | Ideal | Aktif
English French German Spain Italian Russian Portuguese Japanese Korean Arabic
by : BTF

Percakapan Langit

Posted by Dr. Bambang Kariyawan Ys., M. Pd. Selasa, 24 November 2009, under | 0 komentar
Aku memandang langit. Bola mataku menjilati tetaburan bintang seperti bintik ribuan kunang-kunang. Dalam diam, aku bergumam. Bercakap-kacap dalam kesendirian. Sesekali kudapati sebuah bintang terang menyapaku dengan senyuman. Aku tersenyum.

“Kau gadis yang manis,” goda sang bintang.

Aku membalas dengan cengengesan.

“Sampai malam-malam begini, menunggu siapa?” tanyanya lagi.

Aku menggeleng pelan.

“Menunggu ibumu?”

Aku menggeleng kuat.

“Tidak lagi menunggu siapa-siapa.”

Bintang itu pun diam. Aku berharap dia bertanya lagi tentang apa saja asalkan jangan tentang mama. Selalu saja membuat tubuhku mengigil ngilu mendengar kata itu. Kuharap tak ada yang menanyakan tentang mama padaku.

“Betapa indahnya kalau aku bisa sepertimu. Tinggi dan tak ada yang mampu menandinginya.”
Bintang itu tersenyum tipis. Lalu membuang tatapannya ke arah lain. Melirik sebentar ke arah ufuk dengan tatapan gelisah. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya.

“Tidak semuanya benar. Aku kira menjadi manusia lebih senang. Bisa pergi kemana pun sesuka hatinya. Sedangkan aku, seperti yang kau lihat hanya berdiri terpaku di sini. Sungguh, jika aku bisa memilih, aku tak pernah berkeinginan berada di tempat ini. Aku ingin sepertimu,” tatapan matanya begitu senduh.

Kulihat roman bintang itu kian murung. Warna wajahnya yang dari selepas magrib tadi begitu benderang berlahan-lahan luntur. Aku tak menduga ia akan mengatakan itu.

“Kau lihat ke ufuk sana,” ia melirik lagi ke arah timur, mataku mengikutinya “bulan itu telah mengambil keindahan senyumku dan juga teman-temanku. Cahaya kami tak ubahnya seperti lilin yang disiram lampu sorot. Ketika bulan itu mendaki kaki langit, berangsur-angsur kami akan tersisih dan hanya menjadi bintik-bintik redup yang malang.”

“Tapi kau tetap bintang yang cantik. Aku jujur,” senyumku menghiburnya.

Ia juga tersenyum tipis dan kecut. Seakan pasrah dengan putaran malam dan siklus waktu yang harus menghadirkan purnama malam ini, berlahan ia menutupi wajahnya lalu menjauh.

“Besok kita berjumpa lagi. Senang mengenalmu gadis manis.”
***

Malam ini aku kembali menatap langit. Mencari-cari wajah bintang kemerahan yang telah menjadi sahabatku beberapa malam ini. Angin dari sore tadi membuat dadaku berdebaran. Dengan rajinnya mereka mengangkuti awan-awan entah dari mana lalu menumpuknya di langit tepat di atas jendela rumah panggungku. Mungkin sebentar lagi rinai atau bahkan hujan lebat sepanjang malam. Guntur mulai berdentam-dentam menampar langit. Gerimis mendesah di atas atap seng. Tak berselang lama gemuruh air jatuh berebutan memukul-mukul atap seng. Tempias berloncatan girang membilas wajahku.

Jendela masih kubuka. Seberkas remang sinar lampu sorot pompong menyelinap menyapu mukaku. Biasanya kalau tidak lagi hujan, aku dapat mendengar riak belahan air sungai yang terbelah haluan pompong. Menggemericik membentur bibir turap. Aku menikmatinya sebagai melodi malam yang rajin ditingkahi celoteh kodok yang riuh.

Aku ingin mengatakan kepada sahabatku itu. Betapa inginnya aku menjadi seekor kupu-kupu. Jika aku punya sayap-sayap indah seperti kupu-kupu biru, aku bisa terbang sesuka hatiku. Hinggap di bunga menghisap naftar manisnya. Dari satu kuntum ke kuntum bunga lainnya. Lalu terbang ke langit menjumpainya. Aku ingin sekali melihat wajahnya dari jarak dekat. Tentu ia adalah bintang yang paling cantik.

Tapi, apakah ia mau bersahabat denganku kalau tahu bahwa aku bukanlah gadis yang sempurna. Aku hanyalah gadis berkaki pincang. Metamorfosis yang gagal. Jalan hidup yang redup. Tak bernyala. Gelap dan hanya gulita. Hidup dari penolakan satu ke penolakan yang lain. Teramat menyakitkan.

Mama pun, sebagai orang satu-satunya yang aku milik, terasa jauh dari hidupku. Ada tembok yang berdiri kokoh di antara kami. Mungkin tembok itu sudah ada sejak aku belum lahir. Aku merasa mama tak pernah menganggap aku anak kandungnya. Sampai detik ini, aku masih merasakan dia orang lain dalam hidupku. Wanita itu telah melahirkanku dengan amarah, dendam dan kebencian. Aku merasakan kebenciannya terus meluap dari hari ke hari.

Tatapan matanya selalu menegaskan garis kemarahan dan dendam yang tak pernah terbalaskan. Tamparan, cacian, hardikan adalah makanan harianku. Semua kesalahannya tumpah menjadi kesalahanku. Sekecil apapun kesalahanku adalah petaka. Tak salah pun aku disalah-salahkan. Tangannya begitu ringan melayangkan tamparan dan pukulan yang mengilukan tulang pipiku. Tak jarang mama melecutku dengan ikat pinggang. Aku melolong, menjeri dan meminta ampun sampai parau. Mama malah makin kesetanan.

Kelahiranku hanyalah aib yang tak pernah mampu dibasuhnya walau dengan tujuh samudera. Itu bukan salahku. Karena aku tak pantas jadi tumbal dosa masa lalunya. Tubuh kurusku tak ubahnya seperti cemara angin yang terus dan terus diamuk badai amarahnya.

Perlakukan mama makin tak tertahankan. Aku selalu menjadi bahan pelampiasan ledakan amarahnya. Lidahku sampai detik ini masih keluh memanggilnya mama. Tapi aku tak tahu kenapa dia harus meminta, kalau tidak bisa dikatakan memaksa, aku memanggilnya mama. Itu namanya yang kegedong-gedongan. Seharusnya dia memintaku memanggilnya ibu, emak atau amak seperti teman-temanku menyebut ibunya. Jujur, aku lebih suka menyebutnya ibu setan. Aku hanya mampu menggerutu, mendongkol dan memendam kebencian.

Mama selalu pulang larut malam. Tak jarang mengajak teman kencannya ke rumah. Aku selalu berharap salah satu dari lelaki itu adalah orang yang pantas aku panggil ayah. Tak mungkin aku lahir tanpa seorang ayah. Mama akan marah besar kalau aku menanyakan di mana lelaki yang telah menanam benih ke rahimnya. Aku merindukannya. Bentakan Mama membuat aku ciut untuk menanyakan prihal ayah.

Hari-hari berjalan lambat. Aku selalu duduk termangu di depan jendela. Rumah panggung kami persis di tepi Sungai Siak. Mama menyewanya hampir enam bulan yang lalu. Menatap riak Sungai Siak. Pompong mengusik permukaan datar sungai, meriakan air yang berdecah membentur turap sungai. Sesekali terdengar klatson kapal jelatik yang menggetarkan udara, memekakan telinga. Sampan-sampan yang ditambatkan di tepian menari naik turun sealunan imbas pompong yang lalu lalang.

Aku terus menunggu sampai hujan tak lagi menjatuhkan air dari langit. Sudah berapa lama aku menungu di depan jendela aku pun tak tahu.
***

Ada batang besar yang menghimpit tubuhku. Bau aneh yang menusuk. Ini bukan aroma sungai, juga bukan bau asin laut. Aku menggeliat. Benda aneh itu menempel di dadaku. Mengeranyangi, meremas dan membuat mual. Aku terjaga. Berteriak. Dengus nafas birahi. Keparat! Bajingan! Lelaki itu menyeringai dalam gelap. Suara wanita tertawa, terkekeh, lalu seperti ceracau yang kacau.

Tanganku meronta. Karena terkejut, dia merenggangkan tubuhnya dari tubuhku. Kuterjang bagian selangkangnya. Dia mengaduh, melolong kuat dan hilang keseimbangan. Suara ceracau wanita itu meledak menjadi tawa terbahak-bahak. Lelaki bajingan itu tersunggur memegang kemaluannya.

“Haha... rasain! Cewek pincang pun kau lahap. Tau rasa...!!! Haha... haha...!”

Aku menerobos gelap, memburu keluar. Air mataku tumpah bersimbah disambut dingin angin malam. Kubenahi bajuku yang koyak. Kumasih mendengar suara tawa wanita itu. Dia itu ibu setan. Anaknya hendak diperkosa dia masih bisa tertawa. Sumpah-serapah lelaki bajingan itu meningkahi tawa Mama.

Kaki telanjangku terus berlari terseok-seok. Tak peduli walau sesekali aku terjerembab dalam lubang berkuah air hujan. Lalu bangkit lagi dan berlari. Sesekali menoleh ke belakang. Takut lelaki srigala itu mengejarku lalu mencabik-cabik tubuhku.

Tubuhku lunglai. Tak bertenaga lagi. Aku terduduk di tepi jembatan Leghton. Rintik gerimis membasahi bajuku. Sisa-sisa lumpur kubangan jalan masih menempel di pakaianku. Tulang-tulangku menggeletuk menahan dingin. Air mataku terus mengalir. Isakku mengering. Kalut, putus asa, hilang arah.

Tak ada lagi deru mobil yang menderam di atas jembatan. Kota telah terlelap dalam tidur. Hanya suara kodok yang bernyanyi, bersahutan, bersuka ria menarikan tarian hujan. Tubuh ringkihku melenggung menyandar di pagar jembatan dengan tangan mendekap lutut. Berlahan kutengadahkan wajah ke langit. Tepat di atas kepalaku bintang merah itu terus menatapku dengan penuh kasihan, iba.

“Kau lihat aku sekarang... manusia lebih kejam dari srigala.”***



Joni Lis Efendi adalah penikmat sastra, menulis buku motivasi, cerpen, dan esai. Tinggal di Pekanbaru. (dipublikasikan di Riau Pos 22/11/09)

One Response to "Percakapan Langit"