Muda | Islami | Inspiratif | Ideal | Aktif
English French German Spain Italian Russian Portuguese Japanese Korean Arabic
by : BTF

Masjid Munafik

Posted by Dr. Bambang Kariyawan Ys., M. Pd. Rabu, 10 Februari 2010, under | 1 komentar
Wonosari, 23 Desember 2008

Kegelapan mulai membayang, mentari merah mulai menarik diri ke peraduan. Anak-anak Desa Wonosari berlarian pulang ke rumah mematuhi panggilan para ibunya. Sayup-sayup di ujung desa terdengar sebuah kumandang azan, hanya sekali, lalu suara itu pun tenggelam ditelan malam. Suasana desa kembali hening. Kesunyian malam juga tampak di Masjid Hidayah, masjid bercat hijau yang terletak di pertengahan desa. Lengang, tak seorang pun tampak di sana. Teras masjid masih dipenuhi beberapa dedaun akasia yang berserakan, pemandangan di dalam masjid pun masih gelap. Entah kemana para penduduk masjid ini. Irsyad sang gharim masjid pun tak kelihatan.

“Rohim, masjid kenapa tak ada yang azan? Mau jadi apa kampung mu ini?”

Seorang wanita tua tergopoh-gopoh menuju rumah panggung di sebelah mesjid. Seorang lelaki paruh baya keluar dari dalam rumah.

“Lho, saya kurang tau, Mbah, itu tugas Irsyad. Lagi pula malam ini imam giliran Pak Soleh, harusnya Rahmat yang sudah datang duluan.”

“Kamu ini gimana sih, Him, mau masuk surga kok pakai giliran? Sudah gila orang kampung mu ini. ”

“Aduh, si Mbah kayak nggak mengerti saja. Saya tak mau ke masjid kalau imamnya Pak Soleh, titik!”

“Jadi sekarang aku mau jamaah sama siapa?”

“Di rumah sajalah, Mbah, saya saja yang masih muda malas mengurusi masalah itu.”

Wanita tua itu tampak mengomel tak jelas. Dengan terbungkuk ia berjalan kembali menuju rumahnya. Kekecewaan jelas terbalut di wajah tuanya. Rohim tanpa ekspresi kembali masuk ke dalam rumah. Malam semakin tenggelam, waktu magrib pun berlalu begitu saja di Masjid Hidayah.

***

Wonosari, 24 Desember 2009

“Pak Yai, malam besok ke masjid ya! Kita mau bahas soal pengajian bulanan yang sudah lama tak jalan.”

“Si Soleh masih mengajar ngaji di masjid?”

“Ya iya, tak ada lagi yang lain.”

“Malas aku.”

“Kenapa, Pak Yai?”

“Pokoknya kalau ada Soleh aku tak mau ke masjid. Dia itu orang baru tapi lagaknya macam pendekar.”

Lelaki setengah baya yang dipanggil Pak Yai tadi menuangkan kopi dari dalam teko. Segelas kopi tersebut disuguhkannya di depan Irsyad. Pemuda itu meneguk sedikit kopi tersebut, lalu ditatapnya kembali wajah Pak Yai, masih menunggu kalau-kalau lelaki itu akan berubah pikiran.

“Tapi ini undangan dari ketua yayasan, Pak Yai.”

“Si Somat?”

Irsyad lalu mengangguk pelan, tangannya membuka map hijau yang ia letakkan di meja. Diraihnya sepucuk kertas putih berlipat.

“Ini undangannya, Pak Yai, kami tunggu kehadirannya.” Irsyad menyodorkan kertas berlipat tersebut.

“Mungkin aku tetap tak bisa datang, Syad. Aku juga kecewa dengan si Somat itu.”

“Kecewa? Maksudnya?”

“Aku tau betul asal usul Somat bikin masjid itu. Dulu warga sini jauh sekali kalau mau ke masjid, lalu Somat yang waktu itu mencalonkan diri jadi anggota dewan mendirikan masjid untuk kami, dengan harapan kami akan memilihnya saat pemilu. Yang mengelola mesjid itu juga para tim suksesnya, biasalah minta dukungan kita.”

“Tapi itukan sudah lama, Pak Yai. Pak Somat juga sudah bukan anggota dewan lagi sekarang.”

“Si Somat itu tak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Lihat saja, dia sendiri bangun masjid tapi datang ke masjid juga tak pernah.”

“Tapi, Pak Yai…”

“Apa? Si Soleh itu juga orang kepercayaannya Si Somat, sama saja mereka itu.”

“Astaghfirullah, tapi kita kan tetap wajib ke masjid, Pak Yai.”

“Alah…aku kalau mau ke mesjid lebih baik ke kampung seberang. Masjidmu itu udah jadi sarangnya orang munafik.” Irsyad tak menyahut, ia pun tak berlama-lama lagi menunggui lelaki itu. Gharim Masjid Hidayah itu buru-buru pamit meninggalkan Pak Yai yang masih asyik dengan segelas kopinya.

***

Wonosari, 25 Desember 2009

“Hanya kau yang bisa menyelesaikan masalah ini, Syad!” Rahmat menatap dalam mata Irsyad, seolah mencari persetujuan di sana. Tapi yang ditatap tak bergeming. Pemuda itu menunduk dan mendesah putus asa.

“Aku bukan siapa-siapa di sini, Mat. Lagi pula aktivitasku masih cukup padat di kampus. Aku juga masih sering dimarahi oleh Pak Somat.”

“Tapi kita tidak bisa membiarkan masjid selalu kosong begini, Syad. Imam dan para guru ngajinya berselisih, yang punya masjid tak peduli, masing-masing imam punya massa, akhirnya satu pun tak ada yang mau ke masjid. Kita sudah punya niat baik mengumpulkan mereka, nyatanya mereka tetap tak mau hadir.”

“Aku tak sanggup, Mat.” Irsyad kembali mendesah lemah.

Rahmat terdiam. Selama ini Irsyadlah yang punya posisi strategis. Selaku penjaga masjid pemuda ini cukup dipercaya oleh para imam masjid. Karena sikapnya yang baik, orang selalu percaya dan tak pernah dilibatkan dalam masalah. Itulah sebabnya dia begitu yakin Irsyad bisa menyelesaikan konflik penduduk masjid yang berpanjangan. Sementara dirinya telah dicap menjadi orang kepercayaan Pak Soleh, hanya karena ia menjadi mitra bisnis Pak Soleh.

“Hal begini tidak hanya terjadi di masjid kita saja, Mat.”

“Iya, aku juga tau. Masjid Jannah, Masjid Ikhlas, semuanya punya konflik yang tak jauh beda. Aku takut, Syad.”

“Apa?”

“Ntahlah, sesuatu mungkin bisa terjadi.”

Keduanya terdiam. Ada sorot ketakutan di wajah masing-masing, tapi tak terjawab, keduanya hanya saling menatap.

***

Wonosari, 1 Januari 2009

“Beginilah, Bang, kondisinya. Ini semua salahku, aku penuh dosa,” suara Irsyad tertahan mengakhiri ceritanya. Butiran bening terselip di sudut matanya, ia menundukkan wajahnya tak mampu menatapku. Penyesalan yang amat mendalam tersirat di rautnya.

Aku menatap ngeri. Inikah yang dinamakan kiamat lokal? Gempa berskala 7,6 telah meluluh lantakkan wilayah perkampungan ini. Rumah-rumah rata dengan tanah, bangunan roboh tak berbentuk lagi. Bau mayat menyengat di sana-sana. Warga yang selamat hidup menyusuri hari-hari dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

“Rahmat selamat? Yang lain?” tanyaku coba mengalihkan kesedihannya. Tapi mungkin pertanyaanku salah, kesedihan di mata Irsyad tampak kian mendalam.

“Rahmat sempat selamat, tapi saat dibawa ke tenda pengobatan dia meninggal. Dia tertimbun di bangunan rumahnya selama sehari semalam, tulang tubuhnya sebagian patah.”

Aku tercenung. Mengingat-ingat kembali sebuah ceramah ustadz yang pernah kudengar, bahwa salah satu penyebab terjadinya bencana yang menimpa manusia adalah karena berdirinya masjid-masjid munafik. Masjid yang didirikan tidak untuk kepentingan menyembah Allah, namun untuk tempat berselisih satu sama lain.

“Semuanya jadi pelajaran,” sahutku pelan.

“Ya, terutama untuk orang sepertiku, Bang.”

Aku menarik nafas dalam, kubiarkan Irsyad tenggelam dengan perasaannya. Kuedarkan kembali pandangan ke sekelilingku. Puluhan ibu-ibu tampak antre berpanas-panas menunggu jatah sembako yang dikirimkan pemerintah di sebuah posko. Beberapa anak kecil yang digendong ibunya kulihat menangis tak tahan dengan panjangnya antrian, mungkin juga mereka kehausan karena jatah air bersih yang mereka dapatkan sangat terbatas. Beberapa warga yang telah mendapatkan jatah tampak aura bahagia menghiasi wajah mereka, meski hanya satu kilogram gula dan minyak yang mereka dapatkan. Aku terenyuh, inilah potret negeriku yang tak kunjung putus dirundung bencana. Hari ini di kampung ini, besok di tempat lain, begitu seterusnya. Mungkin kedurhakaan kompleks telah dilakukan penduduk negeri, sampai Tuhan langganan menaburkan bencana silih berganti.

“Bang, berapa lama di sini?” suara Irsyad membuyarkan lamunanku.

“Satu minggu, Syad. Kenapa?” sahutku.

“Lebih dari itu kami sangat bahagia, Bang. Bantulah kami mengumpulkan puing-puing masjid dan rumah kami lagi yang telah berserakan.”

Kali ini aku tak dapat menahan rasa haru. Cepat kuhapus bening yang meluncur di pipiku, sebelum Irsyad melihatnya. “Keluargamu bagaimana?” tanyaku.

“Hanya Ibu yang selamat” jawabnya lirih.

Aku tak bertanya lagi. Kuraih lengan Irsyad dan kuselipkan selembar uang seratus ribu di sakunya. Dia menatapku serba salah. Dan kubalas dengan senyum tipis.

“Ambillah, mungkin sekarang belum berguna, tapi pasti akan berguna.”

Irsyad berucap terima kasih, kami berjalan beriringan menuju salah satu tenda posko bantuan. Maafkan aku, Syad, aku tak punya apa-apa untuk membantumu. Juga untuk warga kampung yang selamat. Aku hanya berusaha menjadi relawan yang betul-betul rela, belajar banyak dari sebuah peristiwa.

(
Penulis: Nabila Shasha. Diposting: Senin, 25 Januari 2010 / 13:53:49 | di Annida Online | Kategori: Cerpen)

One Response to "Masjid Munafik"